Rabu, 04 November 2015

Ulang Tahun, atau Hari Kemerdekaan, atau Hari Jadi, atau Disnatalis, atau Apapun Sesukamu

Orang yang tidak gila, aku yakin seyakin-yakinnya Yakin anak bapaknya yakin, pasti ingat dengan tanggal tulang tahunnya, tanggal hari kemerdekaan dirinya, tanggal disnatalisnya, atau apapun yang diistilahkan orang-orang. Mereka pasti tahu tanggal berapa, bulan apa, tahun berapa, pertama kali menghirup udara dunia, meski bukan berarti ketika mereka baru lahir langsung mencatatnya sendiri tanggal kelahirannya. Aku rasa cukup seram jika kita membayangkan seorang bayi yang baru lahir, tiba-tiba saja ia bersuara cempreng, "Dok, bawakan saya sebongkah batu, palu, dan paku. Saya akan mencatat hari kelahiran saya ini sebagai prasasti." Padahal saat itu tim dokter persalinan tengah sibuk memotong tali pusarnnya. Maka seorang dokter memberinya sebuah pisau. Karena tidak ada batu, paku, dan palu, si bayi mencatat hari kelahirannya di tubuhnya sendiri dengan pisau, agar terlihat seperti tato abadi, dan keren. Tetapi itu menyeramkan. Sepakat?
Oke.

Karena aku orang yang tidak gila, aku ingat betul tanggal berapa aku dilahirkan, yang artinya, tanggal ulang tahunku juga. Agar mudah dipahami, kugunakan istilah ulang tahun. Jika diingat-ingat, aku tahu kelahiranku dari akte kelahiran. Sebab kalau aku tahu dari buku sipil, yang aku tahu pasti masalah batu bata, pasir, dan semen. Di akte kelahiran, aku tercatat telah lahir ke dunia dengan selamat sentosa dan menangis pada tanggal 3 November 1992. Artinya, aku selalu berulang tahun ketika tanggal 3 November setiap tahunnya. Belakangan hari ulang tahunku berubah—lebih tepatnya, bertambah. Nanti akan kujelaskan satu-satu.

Untuk saat ini, aku ingin menulis hal-hal saat aku berulang tahun. FYI (untuk yang tidak tahu, artinya for yuor information, sekedar menginformasikan), aku tidak pernah menerima kado saat hari ulang tahunku sejak tahun 1992... hingga 2010. Aku tak pernah mendapatkan kado, merayakannya, atau apapun selama 18 tahun. Nah, Kaum Puyenk, beberapa tahun sejak 2011 hingga saat ini, hal-hal yang berbau hari ulang tahun mulai mendatangi hidupku.

Tahun 2010
Saat itu aku masih kelas tiga SMA dan tinggal di asrama. Asrama putra terpisah dengan asrama putri. Aku tinggal di asrama putra, tentu saja. Sebab jika aku tinggal di asrama putri, sudah pasti aku seorang kuli bangunan.

Saat itu pula, aku sedang dekat dengan beberapa anak asrama putri... secara tersembunyi. Salah satunya menjadi sahabat dekatku hingga saat ini. Namanya lihat di sini

Jadi ceritanya, sore itu aku baru saja selesai berolahraga. Ketika aku sedang mengeringkan keringat, tiba-tiba saja seseorang memanggilku dan menyampaikan pesan jika aku dicari tukang becak. Hal pertama yang terlintas dalam benakku ada, seingatku, aku tidak pernah mengirimkan surat lamaran untuk menjadi tukang becak. Mengabaikan pikiran aneh kalau-kalau tiba-tiba saja aku diculik dan dipaksa menjadi penarik becak, aku menemui tukang becak yang mencariku di depan asrama.

"Adik Arief Rohman Hakim?" tanya si tukang becak memastikan. Saat itu aku sedang imut-imutnya, maka wajar saja si tukang becak memanggilku adik, meski kami bukan saudara kandung.

"I.. iya, Pak." jawabku sedikit gugup. Sementara pandanganku awas, takut kalau tahu-tahu si tukang becak mengeluarkan karung untuk menyekapku.

"Ini, ada paket buat adik." ia menyerahkan sebuah bungkusan cokelat besar yang diambil dari becaknya padaku.

"Paket? Buat saya?" aku memastikan. Sebab aku tak pernah menerima paket selama enam tahun aku tinggal di asrama.

"Iya, buat adik."

Kulihat ada tulisan yang mencantumkan namaku, lengkap dengan alamat asramaku. Saat aku mengangkat kepala dan ingin berterimakasih pada si tukang becak, tukang becak itu telah lenyap. Mungkin saja ia berpikir, "Aku akan pergi sekarang, agar terlihat seperti super hero yang tidak mengharapkan imbalan, dan adik Arief penasaran padaku." Kenyataannya, aku sama sekali tidak penasaran. Aku bahkan lupa dengan wajahnya.

Aku langsung saja membawa paket itu ke kamar dengan wajah sumringah, dan tak sabar ingin segera membuka bungkusannya. Ketika aku membukanya, aku terkejut. Pada muka kardus tertulis, SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 18 ARIEF. Aku langsung sadar jika apa yang ada di hadapanku ini tak lain dan tak bukan kado ulang tahun untukku! 

Lalu pikiranku segera bekerja, siapa gerangan yang mengirimkan paket misterius ini padaku? Orang pertama yang terlintas di kepalaku adalah kakakku. Tetapi ketika aku menelponnya, kakakku bilang, "Tidak aku tidak mengirim paket apapun." Dan sebenarnya, hanya kakakku yang terlintas di kepalaku.

Aku segera melupakan tentang siapa yang mengirim paket padaku. Pikiranku teralih pada isi kardus ini. Aku menebak-nebak; mungkin sepasang sepatu? atau buku-buku? atau PS 4? Tapi PS 4 baru beredar tahun 2015. Tak sabar dengan rasa penasaranku, segera saja aku membukanya. Dan TARAAAA!! Ternyata isinya adalah..... sekardus Teh Gelas! Sekali lagi, SEKARDUS TEH GELAS! Mungkin orang yang mengirimnya ini berpikir aku sedang hidup di tengah gurun dan dilanda kehausan yang amat sangat.

Kalau kalian tidak tahu, ini gambarnya
sengaja aku bikin blur biar tidak disangka iklan

Tentu saja aku tidak mau bunuh diri dengan meminum satu kardus Teh Gelas. Tentu tidak lucu jika besok harinya ada berita Seorang Siswa SMA Tewas setelah Meneguk Satu Kardus Teh Gelas. Menghindari hal yang mengerikan sekaligus konyol itu, aku membagi-bagikan apa yang kudapatkan hari itu pada teman-temanku. Aku cukup mengambil segelas saja. Itu pun tidak habis, sebab aku sibuk berpikir dan penasaran, siapa gerangan yang mengirimku hal seperti ini?

Sewaktu aku sibuk berpikir, ponselku berderin. Seorang gadis bersuara di sebrang sana, dan aku mengenal siapa pemilik suara itu. "Sudah kamu terima paketnya?"

"Hah?" untuk sepersekian detik aku tak mengerti apa maksudnya. Sepersekian detik selanjutnya, aku paham, betul-betul paham apa yang ia maksud. "Oh, jadi kamu si pengirim paket misterius ini?"

Kudengar beberapa gadis cekikikan di belakang suaranya. 

"Iya, kita yang mengirim teh gelas itu." katanya lalu menyebut temannya yang juga dekat denganku. "Kita membuatnya supaya terlihat seperti paket nyasar ke asrama putri, lalu kita kirim ke tukang becak." mereka cekikikan lagi, dan aku, dengan rasa terkejutku, tak tahu harus berkata pada pada kelakuan aneh mereka.

Sebelum si Lia menutup telepon, ia dan dua temannya secara bersamaan mengucapkan, "Selamat ulang tahun yang ke 18, Arief!"

Itulah, Kaum Puyenk, hadiah ulang tahun pertama dalam hidupku adalah... sekardus Teh Gelas.

Tahun 2011
Pada tahun ini, aku sudah tinggal di Malang, tepatnya Malang coret kecamatan Singosari. Di sana, aku memperdalam dan memantapkan ilmu selama setahun. Bukan ilmu kanuragan, bukan ilmu ninja. Tapi ilmu menghafal tanpa diajari ilmu melupakan. Masih menjadi misteri mengapa 'melupakan' tidak pernah dijadikan salah satu bidang ilmu. Akibatnya, banyak abege labil, anak muda, dan orang-orang yang patah hati tak mampu melupakan kenangan mereka dengan pasangannya. Aku berencana mengusulkan ini pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, demi kesejahteraan anak muda ke depannya.

Di desa Randu Agung Singosari, aku dekat dengan seorang gadis desa. Aku bahkan menjalani sebuah hubungan dengannya selama... satu minggu. Jangan tanyakan kenapa hanya satu minggu. JANGAN TANYAKAN! AKU TIDAK MEMILIKI ILMU MELUPAKAN!

Beberapa hari setelah aku memutuskan hubunganku, tepat tanggal 3 November, ia memintaku untuk menemuinya. Aku tahu ini pasti tentang kado atau semacamnya. Selepas senja, aku menemuinya di ujung gang. Dia menghampiriku dengan mengenakan pakaian sekolah. Aku nyaris saja berkata padanya, "Aku bukan guru. Aku tidak membuka sekolah malam hari. Aku tidak memiliki ilmu melupakan," jika saja dia tidak menyodorkanku sebuah kue tart mungil lengkap dengan sebuah lilin yang menyala anggun.

"Ini untukmu," katanya.

"Iya, aku tahu ini untukku. Karena memang hanya ada aku dan kamu. Kalau ada banyak orang berjingkrak dan Ariel Noah sedang menyanyi, berarti ada konser." 

Aku meniup pelan lilin yang menancap pada kue tart itu, memakannya, lalu pergi begitu saja. Makan, kenyang, pulang. Hahahaha.

Tidak, tidak.. aku tidak sekejam itu. Aku tentu saja menghargai pemberiannya. Aku menghargai bahwa ada orang yang berbaik hati memberiku kue tart dan mengucapkan selamat ulang tahun.

Kenangan kedua cerita di atas masih membekas hingga saat ini di kepalaku, entah sampai kapan. Mungkin sampai aku memiliki ilmu melupakan. Tetapi, untuk apa kita melupakan kenangan yang membuat kita tersenyum? Untuk apa kita kita melupakan kenangan tentang betapa kita dicintintai orang lain? 

Terlepas dari dua cerita ulang tahunku, kita bisa menarik sebuah pesan moral: sebaiknya kita menghargai setiap pemberian orang, apapun itu. Sebab kita tak akan tahu apakah kita akan mendapatkan lagi hadiah dari orang yang sama.

Demikianlah, Kaum Puyenk yang terhormat, yang bisa kutulis dalam posting kali ini. Aku akan menceritakan kisahku tentang ulang tahunku di tahun-tahun setelahnya pada posting selanjutnya. Sebab jika aku memaksa menulisnya kali ini, aku takut kalian tidak akan tahan dengan tulisan yang panjang, lalu kalian membanting laptop kalian dan lupa jika di laptop kalian ada skripsi yang belum selesai. Demi kelulusan tepat waktu, aku cukupkan sampai di sini saja.

Sampai bertemu di cerita ulang tahunku selanjutnya.

2 komentar:

  1. oh My God...aku baru baca!
    haha biar teh gelas,ternyata cukup berkesan yah. apalagi di kasih ke penulis, semua jadi abadi dalam cerita. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. makasi lho ya udah bikin sejarah di hidupku

      Hapus