Rabu, 07 Oktober 2020

Joget dan Bikin Gaduh di Gunung, Wajarkah?

Baru pulang berkemah di salah satu bukit dan melihat akun-akun pendaki ramai karena beredar video sekelompok pendaki berjoget dengan musik dugem, aku tidak segusar saat melihat video-video sejenis (video ‘dugem’ di salah satu bukit di Lombok dan video malam 17-an di Gunung Penanggungan) yang sudah beredar sebelumnya. Seperti sebelumnya pula, kelakuan pendaki macam ini memecah dua kubu: mereka yang mewajarkan dan mereka yang langsung menebar makian (kubu nonblok biasanya, "Ya sudahlah, bodo amat,"). Aku berusaha memahami, dan dari perenunganku itu aku mendapatkan kesimpulan, barangkali pro dan kontra tentang “Jangan bertingkah ‘berlebihan’ di gunung” ini karena perbedaan memaknai gunung. Baiklah, mari kita berbicara sedikit serius, bukan hanya soal emosi pribadi, tetapi mencoba melihatnya dari segala sisi. 

Sebelum membahas lebih lanjut, disclaimer dulu bahwa tulisan ini opini pribadi. Aku bukanlah aktivis lingkungan, dan tidak tergabung dalam organisasi lingkungan/alam apa pun. Aku awalnya hanyalah seseorang penikmat alam, yang kemudian mencintainya karena alam—gunung—telah mengajarkan banyak hal kepadaku tentang hidup. Bagiku pribadi, menjadi pencinta alam atau mencintai alam tidak harus bergabung dengan kelompok atau organisasi tertentu—ini juga karena aku tidak terlalu suka bergerombol—tetapi lebih ke bagaimana kita bersikap kepada alam. 

Tentu akan ada orang/pendaki yang berpikir tulisanku ini tidak penting dan tidak perlu ia baca. Aku menulis ini hanya mengajak berdiskusi, bukan berdebat (berdiskusi itu membuka ruang kepada segala kemungkinan dan menerimanya sekaligus memikirkannya, mencari opsi-opsi terbaik; sedangkan berdebat adalah adu argumen dan cenderung menutup diri dan menolak argumen dari luar—hampir-hampir tidak mencari jalan keluar). 

Baik, yang perlu dipahami, gunung adalah alam bebas. Itu secara umum. Secara status administratif, ada gunung yang berstatus Taman Nasional, ada Taman Hutan Raya, dan beberapa jenis lagi. Masing-masing status administratif itu memiliki peraturannya sendiri. Lalu, secara sosial-budaya, beda lagi. Dan, kurasa, inilah (salah satu hal) yang melahirkan dua kubu tadi. 

Kita perlu memahami alasan-alasan pendaki mendaki gunung, karena dari sanalah akhirnya pendaki memaknai gunung bagi dirinya. Tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak sekali alasan seseorang pergi ke gunung. Alasanku dan alasanmu, atau dia dan mereka, bisa saja tidak sama. Ada pendaki yang memang hendak rekreasi atau bersenang-senang, ada pendaki yang ingin memiliki foto dengan lanskap pemandangan bagus, juga ada pendaki yang mencari ketenangan dan kedamaian di gunung. Aku punya teman yang setiap dia punya masalah dia naik gunung. Ajaibnya, di gunung dia menemukan solusi dari masalahnya. Ada pula orang-orang yang pergi ke gunung untuk beribadah (Gunung Arjuno via Purwosari sering disebut sebagai jalur spiritual, tempat penganut kepercayaan tertentu beribadah. Di pos 5/Mangkutoromo, pada 2014 aku pernah bertemu dengan seorang penganut agama Hindu yang mengaku sudah satu bulan berada di Mangkutoromo untuk beribadah). Dan banyak lagi alasan-alasan orang pergi ke gunung. Masalahnya, alasan-alasan yang tidak sama ini tertuju pada satu tempat yang sama. Ini yang perlu kita pahami. 

Kurasa, munculnya dua kubu ini karena kita tidak mampu memahami alasan orang lain pergi ke gunung (dan besar kemungkinan kita menganggap orang lain naik gunung memiliki alasan yang sama dengan kita. Padahal tidak selalu). Bagi orang yang memang ingin berekreasi dan bersenang-senang, mereka akan merasa wajar saja melihat pendaki lain berjoget dengan musik keras di gunung, karena itu satu ‘aliran’ dengan mereka, karena mereka memang memaknai gunung sebagai tempat bersenang-senang. Sementara bagi yang menganggap (semua) gunung sebagai tempat sakral, tempat di mana kita tidak boleh bertingkah sembarangan dan sembrono, jelas mereka murka melihat video seperti itu, karena ada adat-adat (aturan [perbuatan dan sebagainya] yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, lihat definisi adat di KBBI) dan budaya tak tertulis yang ingin mereka jaga tetapi dengan terang-terangan ditebas oleh pendaki yang tampak di video itu. Dengan menjaga sikap dan tidak bertingkah berlebihan di gunung, itu cara mereka menghormati alam, cara mereka menjaganya, sebab bagi mereka, keberadaan mereka di alam adalah tamu. Sebagaimana bertamu, ada sikap-sikap yang perlu dijaga. Tentang video itu, memang perlu dicari dulu konteksnya agar tidak tergesa-gesa melakukan penilaian—tetapi jika memang sudah menanggap gunung sebagai tempat sakral, mereka cenderung tidak perlu mencari konteksnya karena mereka akan menganggap sikap seperti itu bukanlah sikap yang pantas dilakukan di gunung. 

Yang perlu dipahami, ada gunung-gunung, selain dikomersialkan, juga jadi tempat beribadah, tempat olah spiritual oleh masyarakat setempat atau oleh penganut kepercayaan tertentu (penganut agama Hindu yang aku temui di Mangkutoromo itu mengaku dari Bali). Sewaktu aku baru turun dari Gunung Lawu via Candi Cetho, aku bertebincang dengan seorang kawan, dan kukatakan ketertarikanku mengapa mendaki Gunung Lawu via Candi Cetho. Kukatakan, jalur Candi Cetho aku pilih karena aku tertarik dengan nuansa spiritual dan cagar budayanya (patung-patung, tempat sembahyang). Namun sepanjang jalur aku tidak menemukan tempat-tempat yang secara khusus memang dijadikan sebagai tempat sembahyang (setidaknya, tidak seperti yang aku temukan saat mendaki Gunung Arjuno via Purwosari). Kawanku bilang, di Lawu via Cetho memang ada tempat sembahyang dan beribadah, tetapi hanya orang tertentu yang tahu jalurnya, sebisa mungkin pendaki tidak mengetahui. Dari sini seharusnya kita bisa memahami bahwa tidak semua tempat di gunung itu untuk semua orang, lebih-lebih bagi pendaki yang cenderung tidak bisa menjaga sikapnya. Aku memahami mengapa tempat sakral itu disembunyikan. Kukatakan pada kawanku itu, ya, tidak semua pendaki bisa menjaga sikapnya jika berada di tempat penganut kepercayaan tertentu beribadah. Coba bayangkan ini: patutkah kita berjoget, bernyanyi dan berteriak seenaknya di tempat orang beribadah meskipun itu bukan kepercayaan kita? Aku yakin, tempat ibadah mereka sudah lama ada jauh sebelum tren mendaki gunung meningkat pesat. Bagiku, kita hanyalah ‘orang baru’, anak kemarin sore yang baru datang ke gunung. Maka, sudah semestinya jangan merusak/mengganggu tempat ibadah orang yang sudah lama ada dengan sikap kita. Jangan arogan menebas kepercayaan orang lain, tak peduli setidak percaya apa pun kita terhadap mitos-mitos setempat atau kepercayaan orang lain. Bila pun kita tidak memaknai gunung sebagai tempat sakral, atau berada di salah satu sisi gunung yang bukan tempat beribadah, secara pribadi, aku akan tetap bersikap hati-hati/tidak berlebihan. Hal ini aku jelaskan pada bagian akhir.

Itu untuk gunung-gunung yang memang sudah lama diketahui sebagai tempat beribadah (misalnya, Gunung Arjuno, Gunung Lawu, Gunung Tampomas). Coba kita renungi, mengapa banyak cerita tentang orang-orang sakti bertapa di gunung? Mengapa ada istilah “turun gunung”/keluar dari pertapaannya bagi orang sakti itu untuk menyelesaikan suatu masalah orang banyak? Bagiku sendiri, gunung bukan tempat kita bisa melakukan sesuatu sesuka hati. Ada sikap-sikap yang sebaiknya tidak dilakukan digunung (atau boleh melakukan sesuatu tetapi tidak melampaui batas dan lihat situasi sekitar). Katakanlah sakral, walaupun aku tidak ingin mengatakannya mutlak begitu dan memukul rata kepada semua gunung. Tetapi aku tahu zaman sudah berubah. Beberapa gunung sudah tidak sesakral sebelumnya. Beberapa gunung ramai dikunjungi orang, sampai-sampai mereka yang datang ke sana tidak peduli pada “hajat” orang lain pergi ke gunung. Mereka gaduh dan riuh. Ini bukan tentang “Jika kamu ingin ketenangan, carilah gunung yang tidak ramai, atau waktu-waktu tidak ramai”. Sebelum masuk ke sana, di Gunung Penanggungan ada jalur via Wonosunyo yang oleh warga lokal dijadikan jalur spiritual. Warga lokal naik ke Gunung Penanggungan dan melakukan ritual spiritual. Apakah Gunung Penanggungan bukan gunung yang ramai? Atau, ada waktu-waktu Gunung Bromo dan Semeru ditutup karena ada kegiatan (ritual) masyarakat Tengger. Coba pikirkan makna gunung bagi mereka, bagi warga lokal. Mari coba hal-hal yang demikian kita renungi agar tidak terkesan kita mementingkan ego pribadi. 

Tentang orang yang butuh ketenangan di gunung (entah untuk beribadah atau untuk memecahkan masalah), terlepas dia warga lokal atau bukan, dan bisa saja menganut kepercayaan berbeda dengan kita—coba kita bayangkan, warga lokal ini pergi ke gunung untuk melakukan olah spiritual atas keyakinannya, lalu kita ganggu dengan kegaduhan kita, itu jelas salah. Benar, seharusnya orang yang butuh ketenangan harus mencari sendiri tempat (atau waktu) yang tenang, jangan membebankan kebutuhannya kepada orang/pendaki lain. Aku hanya ingin melihat dari sisi lain, mencoba mengajak agar tidak selalu menomorsatukan ego dan emosi pribadi, mementingkan diri sendiri; bagaimana jika orang itu tidak punya akses ke tempat yang tenang itu/gunung yang sepi pendaki (baik secara waktu, jarak, atau finansial) sedangkan mereka butuh itu (secepatnya untuk me-recovery diri, atau memecahkan masalah), dan tempat yang bisa dia jangkau hanyalah gunung yang ramai? Aku pikir, solusi untuk itu hanya ada dua kemungkinan, yang dua-duanya adalah toleransi. Dia yang menoleransi pendaki yang gaduh, yang mana ia menerima dirinya tidak mendapatkan ketenangan, atau sebaliknya, pendaki yang gemar ramai yang mencoba mengerti kebutuhan orang lain sehingga mulai membatasi sikapnya. Pada akhirnya, tinggal bagaimana kita mengerti dan menoleransi makna gunung bagi pendaki lain, tidak egois dan semaunya sendiri. Itu yang coba kupahami hingga akhirnya aku tidak segusar saat video di Lombok atau di Penanggungan beredar. Meskipun gunung sangat penting bagiku, karena dari gunung aku belajar banyak hal tentang hidup, aku juga belajar menerima pendaki yang “tidak satu aliran” atau memaknai gunung dengan cara yang berbeda denganku. 

Karena aliranku itu, bagiku, gaduh di alam dan tidak memedulikan orang lain yang bisa saja butuh ketenangan, tentu saja itu sikap egois. Aku mengerti. Egoistis adalah salah satu sifat alami manusia. Manusiawi. Aku juga berusaha memahami, barangkali berjoget di gunung adalah cara mereka me-recovery diri. Menciptakan keramaian adalah kebutuhan mereka. Mereka butuh itu. Tapi, seperti kata Dzawin, jangan sampai kebutuhan kita juga merampas kebutuhan orang lain, mengganggu orang lain. Rasa-rasanya kalau sudah begitu sudah melewati batas. Memang di alam bebas tampaknya kita bisa bersikap bebas seperti yang kita mau. Bagiku, justru di situlah letak filosofisnya—boleh aku bilang “ujiannya”, sejauh mana kita bisa mengendalikan diri dengan kebebasan yang disediakan hingga tidak kebablasan. Karena itulah aku menganggap alam (khususnya gunung) sebagai tempat menguji diri, sebagai tempat mengendalikan diri. Itulah aliranku. Itulah makna gunung bagiku. Gunung adalah guru buatku, seperti yang dikatakan Tyo Survival, “Alam adalah guru yang pasif. Kitalah yang harus aktif belajar.” 

Dari apa yang kutulis ini, jelas aku akan bersikap hati-hati, tidak bertingkah berlebihan, sebab aku menghormati gunung, menghormati alam, menghormati apa yang kuanggap sebagai guru, menghormati adat dan budaya setempat, menghormati mereka yang menganggap gunung sebagai tempat sakral. Bukan berarti aku tidak menghormati orang yang memang ingin bersenang-senang di gunung. Hanya, bagiku, gunung bukanlah tempat bersenang-senang dengan cara yang berlebihan bagi orang-orang seperti kita yang baru kemarin sore pergi ke gunung, lebih-lebih mengganggu lingkungan sekitarnya. Aku bukan ingin melarang pendaki berjoget di gunung (bahkan, mungkin saja suatu saat aku juga melakukannya. Siapa tahu, kan?). Bagiku, sah-sah saja pendaki melakukan itu, selama dia bisa menakar diri, tahu situasi dan keadaan tempat dia berada, dan tahu batas (misalnya, siang hari saat bukan jam istirahat, atau saat gunung sedang sepi sehingga tidak mengganggu pendaki lain—tentang kedatangan kita ke alam sendiri sudah mengganggu satwa yang ada di sana, kita bicarakan di tulisan lain). Inilah poin yang sedang kupahami, tentang perbedaan memaknai gunung. Kita pun tahu, belakangan kebiasan-kebiasan yang biasa kita lakukan di kota kita lakukan juga di alam/gunung, seolah-olah kita tidak mengerti bahwa satu kebiasaan/sikap tidak selalu pantas dilakukan di semua tempat. Memang, di beberapa gunung ada spot-spot khusus wisata/khusus pendaki, ada spot-spot yang tidak sembarang orang bisa ke sana, juga ada spot khusus flora dan fauna yang dilindungi. Tapi bagiku, meskipun itu spot wisata, gunung tetaplah tempat di mana aku tidak bisa bertingkah seenaknya dan melampaui batas (batas ini merujuk kita bisa manakar diri dan keadaan), dan sudah sepantasnya aku menjaga sikapku, menghormati guruku. Ada tempat lain yang lebih cocok, lebih pas untuk bersenang-senang; kita bisa bersikap seenaknya di sana, berteriak sesukanya; tempat yang memang untuk satu alasan saja: untuk bersenang-senang. Aku rasa kita pasti tahu tempat-tempat yang seperti itu. Tempat yang pantas untuk bersenang-senang dan berteriak sesukanya. Sebab, bagiku, bersikap seenaknya di gunung bukan tentang benar atau salah, bukan juga boleh atau tidak, tetapi pantas atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar