Aku menulis ini saat sepertiga malam. Suasana sunyi sekali. Saat
aku berwudu tadi, langit sedikit menaburkan benih-benih lautan. Sedikit sekali.
Mungkin bila aku berdiri di bawahnya, aku sama sekali tak akan kebasahan. Kedinginan,
itu pasti. Angin malam di sini selalu membuat orang-orang menggigil. Tapi,
sekarang gerimis itu sudah berhenti. Padahal, rintik gerimis itu begitu
syahdu dalam kehampaan dan kesunyian. Paling tidak, aku merasakan sedikit riuh.
Meski begitu, rupanya burung tetangga asyik berkicau di
tengah kegelapan. Dari tadi. Soalah-olah saat ini pagi hari; seolah-olah mentari
telah bangkit dari peraduannya. Dia riang sekali. Berkicaunya itu. Ah, ada
suara jangkrik pula! Dia mengerik entah di mana. Tak mungkin seorang tetangga
di sini memelihara jangkrik. Tapi, hey! Kalian bermaksud menemaniku menulis? Oh
astaga, aku merasa terharu. Terima kasih kalian telah bersedia menemaniku di
sepertiga malam ini.
Aku cukup gelisah sebenarnya. Malam ini, maksudku. Padahal di
tempat kerja tadi aku sudah menguap berkali-kali. Kupikir aku akan merasa lebih baik
bila aku merangkai kata-kata—yang tampaknya tak memiliki makna. Tapi peduli
setan dengan itu, kalau jemariku menari-nari di atas keyboard justru membuatku
merasa lebih nyaman.
Tanggal 23 tadi aku memang dibuat gelisah. Degdegan. Aku menunggu
suatu kabar. Tapi tak ada hingga hari berganti. Itu belum termasuk kabar dari seorang kawan yang bulan depan akan menikah. Waw. Aku cukup terkejut juga sebenarnya. Satu per satu kawan-kawanku naik ke pelaminan. Anak ini padahal dulu diperebutkan banyak orang. Kuakui, dia memang cantik. Wajar saja banyak yang mengejarnya. Dan aku yakin, orang-orang yang dulu mengejarnya itu pasti patah hati bukan main sewaktu mereka tahu kalau anak ini akan berumah tangga.
Tapi kurasa bukan karena itu aku gelisah. Maksudku, bukan kabar rencana pernikahan anak ini. Meski begitu, aku sudah
menyampaikan kegelisahanku ke langit. Dan sekarang jemariku yang menari ini
yang kebagian tugas menumpahkan kegelisahan. Ada suara motor lewat, baydewey. Cukup
membikin berisik. Kicau si burung tetangga tak seriuh tadi. Dan jangkrik tampaknya
sudah kembali tidur. Tak lagi dia bersuara. Barangkali dia tadi dilanda mimpi
buruk. Semoga tidurmu nyenyak.
Sewaktu habis berwudu tadi, aku berpikir bahwa orang-orang
keras kepala biasanya orang-orang yang fokus. Mereka tak peduli apa kata orang.
Dan mereka tetap melakukan apa yang ingin dilakukannya. Tapi, kurasa keras
kepala akan bisa menguntungkan bila disikapi dengan benar—oleh orang yang keras
kepala itu sendiri. Misalnya begini, seseorang ingin mencapai impiannya menaklukkan semua gunung di negeri ini. Pendiriannya sudah setel. Tak bisa diganggu gugat. Padahal,
orang-orang di sekelilingnya berkata kalau itu sesuatu yang mustahil baginya. Tapi dia keras kepala. Dia tak juga sama
sekali tak mendengarkan apa yang dikatakan orang lain. Dia hanya menuruti
kata-katanya. Itulah saat di mana dia fokus. Dia sama sekali tak tertarik pada
hal-hal yang bisa membuyarkan fokusnya. Kata-kata orang itu sama sekali tak
jadi soal buatnya.
Di sinilah keras kepala bisa jadi sesuatu yang
menguntungkan. Kekeraskepalaan membuat seseorang tak peduli kata-kata orang
lain, dan lebih peduli pada tujuannya, pada apa yang paling dia inginkan. Tentang
menyikapinya dengan benar, seseorang yang keras kepala hanya perlu yakin dan
mempercayai bahwa apa yang diinginkannya itu pasti terjadi. Hal-hal di luar
itu, yang bisa membuyarkan fokusnya, keyakinannya, apa yang dia percaya pasti
terjadi, sama sekali tak menarik. Fokusnya tak bisa diutak-atik lagi oleh siapa
pun. Bahkan oleh orang yang paling dia cintai sekalipun.
Dan ternyata, takdir, sebagian besar, memang berpihak kepada
orang-orang yang keras kepala dan nekat—asalkan dia memiki keteguhan, usaha,
dan kesabaran. Semua yang dialaminya tadi hanyalah ujian, sejauh mana kita bisa
mempertahankan keyakinan dan tetap fokus?
Kenapa aku berpikir begitu? Karena kurasa aku juga orang
yang keras kepala. Ada hal-hal yang kuinginkan. Ada hal-hal yang kuyakini pasti
kudapatkan. Dan aku tak peduli pada suara-suara yang tak sejalan dengan
pikiranku. Sesuatu yang kurasa bisa saja membuatku membuyarkan fokus dan
keyakinanku sama sekali tak menarik. Aku tak peduli pada itu. Aku hanya peduli
pada apa yang kuinginkan dan kuyakini pasti terjadi. Tentu saja, ada kata-kata
yang kusampaikan ke langit.
Dari kejauhan terdengar lonceng berdentang tiga kali. Ini kali
pertama aku mendengar lonceng seperti di Eropa. Tiga puluh menit sudah aku
menulis ini. Kicauan si burung tetangga telah lenyap. Suasana hening lagi. Hanya
deru kendaraan di jalanan sana yang terdengar. Berisik. Suaranya terbawa angin
malam merasuk ke kamarku.
Seperti suara kendaraan itu, aku tak peduli. Itu sama sekali
tak melenyapkan kekeraskepalaanku. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar