Selasa, 21 November 2017

Tiang Listrik: Isi Kepala Sarimin dan Desa Kelakar

Beberapa hari lalu orang-orang ramai membicarakan tiang listrik. Sarimin, seorang bocah 8 tahun, jadi ikut penasaran dengan tiang listrik. Walaupun sekarang tampaknya topik itu sudah basi, tapi tampaknya pula tidak dengan Sarimin. Kata orang-orang, tiang listrik sekarang sudah jadi pahlawan karena telah menghentikan maling. Tiang listrik sekarang layaknya Superman, atau Batman, atau Spiderman, atau pahlawan super lain di dalam kepala Sarimin, pahlawan yang selalu menolong orang-orang lemah dan mengalami kejahatan.


”Kita harus memberinya penghargaan,” tutur seorang tukang ojek di sebuah warung kopi. Waktu itu Sarimin tengah membeli tempe dan tahu goreng di sana, yang kemudian akan jadi lauk makan siangnya.

Sarimin berpikir, pasti tiang listrik ini hebat sekali sampai-sampai orang-orang mau memberinya penghargaan. Tapi sore harinya, ketika Sarimin bermain kelereng di halaman rumah Karyo, kakak Karyo dan temannya justru amat mengasihani si tiang itu. Katanya, dia tak salah apa-apa tapi justru disundul bemper mobil. Mungkinkah sundulan di sini maksudnya seperti pesepak bola botak yang menyundul dada lawannya di Piala Dunia itu? Bagaimana caranya bemper mobil sampai-sampai menyundul tiang listrik? Pikiran seperti itu sama sekali tak bisa dicerna di kepala Sarimin. Ia dibuat bingung karenanya.

Malam harinya, Sarimin bertanya pada ayahnya.

”Tiang listrik kenapa sih, Yah, kok banyak orang yang membicarakan itu sekarang?”

”Bukan tiang listrik, Nak, tapi itu tiang lampu jalan.” kata ayahnya.

”Memangnya bedanya apa?”

”Ya beda. Sama seperti Superman dan Batman. Bedanya apa, hayo?”

”Ya beda, Yah. Gimana sih. Kan Superman jubahnya merah. Kalau Batman itu hitam.”

”Ya seperti itu, Nak, beda tiang listrik dan tiang lampu jalan,”

”Tapi kenapa orang-orang membicarakannya?”

”Karena dia telah menghentikan maling yang lari. Hebat kan? Padahal tiangnya nggak bergerak lho.”

Sarimin tampak berpikir. Ia menaikkan bola matanya. Ia jadi bertanya-tanya; apakah penangkap maling itu yang paling hebat adalah yang tidak bergerak ya? Tapi, Sarimin tentu masih ingat kalau tiang listrik pernah menangkap layangannya.

***
Desa Kelakar tiba-tiba diliputi kegelapan. Para warga gelagapan mencari lampu cempluk yang mereka sudah lupa diletakkan di mana. Sebab, selama ini Desa Kelakar merupakan desa yang terang benderang. Tak peduli siang atau malam. Itu membuat warga berpikir kalau mereka tak lagi membutuhkan lampu cempluk dan segera meninggalkan zaman kuno.

Tetapi, kini desa itu gelap total. Mereka telah kembali ke zaman kuno. Tentu saja warga tak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Sebab, kepala Desa Kelakar sudah bersepakat dengan ketua paguyuban tiang listrik bahwa mereka akan menerangi desa sampai kapanpun. Balasannya, tiang listrik meminta perawatan kelas wahid. Mereka minta selalu dicat tiga bulan sekali. Dan tak boleh dengan warna yang sama. Tiang listrik juga mewanti-wanti, jangan sampai tubuhnya ditempeli bermacam brosur, pengumuman-pengumuman pilkada, atau bahkan promosi badut ulang tahun. Dan yang paling penting, tentu saja jangan sampai ada orang yang menempelkan info jasa sedot WC. Kalau sampai itu terjadi, paguyuban tiang listrik mengancam tak akan menerangi desa hingga sebulan lamanya.

Namun, gelapnya Desa Kelakar sekarang ini bukan karena ada oknum yang menempelkan info jasa sedot WC. Semalam, di sebuah kota di ujung pulau, telah terjadi kasus kriminal yang menyeret sebuah tiang listrik. Menurut desas-desus yang beredar, seseorang telah melaporkan tiang listrik ke polisi karena dianggap menghalang-halangi seorang terdakwa untuk diperiksa. Paguyuban tiang listrik di Desa Kelakar tak terima itu. Mereka akhirnya berangkat ke kota di ujung pulau setelah ketua paguyuban meminta maaf kepada kepala Desa Kelakar sambil berkata kalau hukum memang harus ditegakkan.

”Kita tak bisa membiarkan diri diinjak-injak seperti ini, Pak,” kata ketua paguyuban tiang listrik penuh emosi kepada kepala desa. ”Maafkan kami kalau untuk hari ini dan beberapa hari ke depan tidak bisa menerangi desa. Ada hukum yang harus diluruskan.” tambahnya.

Kepala Desa Kelakar berusaha memahami itu. Dan dengan berat hati, dia mempersilakan paguyuban tiang listrik pergi ke kota di ujung pulau. Ia tahu dirinya tak bisa menahan kepergian seluruh tiang listrik di desanya. Itu mustahil. Sebab, selama ini desanya sangat bergantung kepada tiang listrik.

Dan sekarang, saat desa kembali gelap gulita bila malam datang. Warga segera memprotes kepala Desa Kelakar; kenapa memberi tahu perkara penting seperti ini dengan sangat mendadak? Dan kenapa pula kepala Desa Kelakar membiarkan pergi tiang-tiang listrik di desanya?

”Kita tak bisa menuntut banyak,” kata kepala Desa Kelakar di hadapan warganya. ”Kita tak punya kuasa apa-apa atas mereka. Selama ini mereka bersedia menerangi desa kita hanya karena kita mau merawat mereka. Kita sama sekali tak punya hak untuk melarang kepergian mereka. Karena, diakui atau tidak, kitalah yang selama ini bergantung kepada mereka.”

Kata-kata kepala desa itu membuat warga mau tak mau memahami—walaupun sebenarnya itu berat sekali. Kepala Desa Kelakar kemudian membubarkan kerumunan warga, dan mengatakan kalau sudah saatnya masing-masing berusaha menerangi diri sendiri lagi tanpa bergantung pada tiang listrik.

Warga kemudian pulang. Lalu, mereka berusaha mencari lampu cempluk yang mereka lupakan telah diletakkan entah di mana. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar