Beberapa hari lalu orang-orang ramai membicarakan tiang listrik.
Sarimin, seorang bocah 8 tahun, jadi ikut penasaran dengan tiang listrik. Walaupun sekarang tampaknya topik itu sudah basi, tapi tampaknya pula tidak dengan Sarimin. Kata
orang-orang, tiang listrik sekarang sudah jadi pahlawan karena telah
menghentikan maling. Tiang listrik sekarang layaknya Superman, atau Batman,
atau Spiderman, atau pahlawan super lain di dalam kepala Sarimin, pahlawan yang selalu menolong orang-orang lemah dan mengalami kejahatan.
”Kita harus memberinya penghargaan,” tutur seorang tukang
ojek di sebuah warung kopi. Waktu itu Sarimin tengah membeli tempe dan tahu goreng di sana, yang kemudian
akan jadi lauk makan siangnya.
Sarimin berpikir, pasti tiang listrik ini hebat sekali
sampai-sampai orang-orang mau memberinya penghargaan. Tapi sore harinya, ketika
Sarimin bermain kelereng di halaman rumah Karyo, kakak Karyo dan temannya
justru amat mengasihani si tiang itu. Katanya, dia tak salah apa-apa tapi justru disundul bemper mobil. Mungkinkah
sundulan di sini maksudnya seperti pesepak bola botak yang menyundul dada
lawannya di Piala Dunia itu? Bagaimana caranya bemper mobil sampai-sampai
menyundul tiang listrik? Pikiran seperti itu sama sekali tak bisa dicerna di kepala
Sarimin. Ia dibuat bingung karenanya.
Malam harinya, Sarimin bertanya pada ayahnya.
”Tiang listrik kenapa sih, Yah, kok banyak orang yang
membicarakan itu sekarang?”
”Bukan tiang listrik, Nak, tapi itu tiang lampu jalan.” kata
ayahnya.
”Memangnya bedanya apa?”
”Ya beda. Sama seperti Superman dan Batman. Bedanya apa,
hayo?”
”Ya beda, Yah. Gimana sih. Kan Superman jubahnya merah.
Kalau Batman itu hitam.”
”Ya seperti itu, Nak, beda tiang listrik dan tiang lampu
jalan,”
”Tapi kenapa orang-orang membicarakannya?”
”Karena dia telah menghentikan maling yang lari. Hebat kan?
Padahal tiangnya nggak bergerak lho.”
Sarimin tampak berpikir. Ia menaikkan bola matanya. Ia jadi
bertanya-tanya; apakah penangkap maling itu yang paling hebat adalah yang tidak
bergerak ya? Tapi, Sarimin tentu masih ingat kalau tiang listrik pernah
menangkap layangannya.
***
Desa Kelakar tiba-tiba diliputi kegelapan.
Para warga gelagapan mencari lampu cempluk yang mereka sudah lupa diletakkan di
mana. Sebab, selama ini Desa Kelakar merupakan desa yang terang benderang. Tak
peduli siang atau malam. Itu membuat warga berpikir kalau mereka tak lagi
membutuhkan lampu cempluk dan segera meninggalkan zaman kuno.
Tetapi, kini desa itu gelap total. Mereka telah kembali ke
zaman kuno. Tentu saja warga tak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Sebab,
kepala Desa Kelakar sudah bersepakat dengan ketua paguyuban tiang listrik bahwa
mereka akan menerangi desa sampai kapanpun. Balasannya, tiang listrik meminta
perawatan kelas wahid. Mereka minta selalu dicat tiga bulan sekali. Dan tak
boleh dengan warna yang sama. Tiang listrik juga mewanti-wanti, jangan sampai
tubuhnya ditempeli bermacam brosur, pengumuman-pengumuman pilkada, atau bahkan
promosi badut ulang tahun. Dan yang paling penting, tentu saja jangan sampai
ada orang yang menempelkan info jasa sedot WC. Kalau sampai itu terjadi,
paguyuban tiang listrik mengancam tak akan menerangi desa hingga sebulan
lamanya.
Namun, gelapnya Desa Kelakar sekarang ini bukan karena ada
oknum yang menempelkan info jasa sedot WC. Semalam, di sebuah kota di ujung
pulau, telah terjadi kasus kriminal yang menyeret sebuah tiang listrik. Menurut
desas-desus yang beredar, seseorang telah melaporkan tiang listrik ke polisi
karena dianggap menghalang-halangi seorang terdakwa untuk diperiksa. Paguyuban
tiang listrik di Desa Kelakar tak terima itu. Mereka akhirnya berangkat ke kota
di ujung pulau setelah ketua paguyuban meminta maaf kepada kepala Desa Kelakar
sambil berkata kalau hukum memang harus ditegakkan.
”Kita tak bisa membiarkan diri diinjak-injak seperti ini,
Pak,” kata ketua paguyuban tiang listrik penuh emosi kepada kepala desa.
”Maafkan kami kalau untuk hari ini dan beberapa hari ke depan tidak bisa
menerangi desa. Ada hukum yang harus diluruskan.” tambahnya.
Kepala Desa Kelakar berusaha memahami itu. Dan dengan berat
hati, dia mempersilakan paguyuban tiang listrik pergi ke kota di ujung pulau. Ia tahu dirinya tak bisa menahan kepergian seluruh tiang
listrik di desanya. Itu mustahil. Sebab, selama ini desanya sangat bergantung
kepada tiang listrik.
Dan sekarang, saat desa kembali gelap gulita bila malam datang. Warga segera memprotes kepala Desa Kelakar; kenapa memberi tahu perkara penting seperti ini dengan sangat mendadak? Dan kenapa pula kepala Desa Kelakar membiarkan pergi tiang-tiang listrik di desanya?
Dan sekarang, saat desa kembali gelap gulita bila malam datang. Warga segera memprotes kepala Desa Kelakar; kenapa memberi tahu perkara penting seperti ini dengan sangat mendadak? Dan kenapa pula kepala Desa Kelakar membiarkan pergi tiang-tiang listrik di desanya?
”Kita tak bisa menuntut banyak,” kata kepala Desa Kelakar di
hadapan warganya. ”Kita tak punya kuasa apa-apa atas mereka. Selama ini mereka
bersedia menerangi desa kita hanya karena kita mau merawat mereka. Kita sama
sekali tak punya hak untuk melarang kepergian mereka. Karena, diakui atau
tidak, kitalah yang selama ini bergantung kepada mereka.”
Kata-kata kepala desa itu membuat warga mau tak mau
memahami—walaupun sebenarnya itu berat sekali. Kepala Desa Kelakar kemudian
membubarkan kerumunan warga, dan mengatakan kalau sudah saatnya masing-masing
berusaha menerangi diri sendiri lagi tanpa bergantung pada tiang listrik.
Warga kemudian pulang. Lalu, mereka berusaha mencari lampu
cempluk yang mereka lupakan telah diletakkan entah di mana. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar